Urutan wali dan yang berhak menjadi wali nikah adalah sebegai berikut:
1 - Ayah kandung
2 - Kakek, atau ayah dari ayah
3 - Saudara se-ayah dan se-ibu
4 - Saudara se-ayah saja
5 - Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
6 - Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
7 - Saudara laki-laki ayah
8 - Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
Urutan wali di atas harus dijaga. Kalau wali nomor urut 1 masih ada dan memenuhi syarat, maka tidak sah pernikahan yang dilakukan oleh wali nomor urut 2 dan seterusnya.
Wali yang paling berhak juga boleh mewakilkan perwaliannya pada orang lain yang dipercaya seperti tokoh agama : Kyai, Ustadz, dll.
Walaupun sudah termasuk golongan yang berhak menjadi wali nikah, belum sah menjadi wali nikah sampai syarat-syarat berikut terpenuhi:
1. Islam (beragama Islam). Tidak sah wali kafir selain kafir Kitabi (Yahudi dan Kristen boleh menjadi wali).
2. Aqil (berakal sehat). Tidak sah wali yang gila.
3. Baligh (sudah usia dewasa) tidak sah wali anak-anak.
4. Lelaki. Tidak sah wali perempuan.
Wali hakim dalam konteks Indonesia adalah pejabat yang berwenang menikahkan. Yaitu, hakim agama, petugas KUA, naib, modin desa urusan nikah.(berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1952)
Wali hakim baru boleh menjadi wali nikah dalam 3 hal sebagai berikut:
1. Wali dari anak zina : Seorang anak zina perempuan nasabnya dinisbatkan pada ibunya. Karena ibu tidak dapat menikahkan, maka wali hakim yang dapat menjadi walinya.
2. Semua wali tidak ada : Wali hakim dapat menjadi wali nikah apabila semua wali nikah tidak ada.
3. Wali diatas tidak setuju tanpa alasan syar'i : Wali hakim juga dapat menjadi wali nikah apabila wali dekat (bapak) menolak
menikahkan dengan alasan yang tidak sesuai syariah.[4] Wali ini disebut wali
adhol
Dalam mazhab Syafi'i, apabila bapak (wali dekat / aqrob) menolak menikahkan putrinya tanpa alasan syar'i, maka hak menikahkan berpindah ke wali hakim, bukan ke wali lain yang jauh (wali ab'ad) seperti paman, saudara, dll.